Bank Indonesia: Transaksi QRIS Meminimalisir Penyebaran Uang Palsu

  • Bagikan
Deputi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Lhokseumawe, Rio Wardhanu. durasi/Rahmat

LHOKSEUMAWE – Di era modern saat ini, seperti yang kita tahu bahwa kian hari teknologi semakin mengalami perkembangan, semakin lama teknologi akan semakin canggih. Dengan adanya kemajuan teknologi ini maka akan memberikan efisiensi bagi penggunanya dalam menjalankan kehidupan.

Masyarakat tentunya lebih memilih untuk menggunakan teknologi yang akan mempermudah kehidupan mereka, termasuk salah satunya dalam sistem pembayaran.

Bank Indonesia (BI) Lhokseumawe terus mendorong penggunaan sistem transaksi pembayaran digitalisasi dengan tujuan agar dapat memudahkan proses transaksi. Salah satu dari layanan tersebut ialah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).

Dengan adanya sistem pembayaran digital ini akan meminimalisir terjadinya penyebaran uang palsu, dikarenakan tidak ada lagi pertukaran uang tunai yang terjadi, terutama antar pihak yang menyediakan dan menggunakan layanan pembayaran digital tersebut.

QRIS merupakan layanan sistem pembayaran digital tanpa biaya admin dengan menggunakan metode scan pada QR Code sehingga proses pembayaran dapat lebih cepat dan mudah untuk dilakukan. Layanan ini sudah tersedia pada beberapa bank di Indonesia.

Saat ini Bank Indonesia (BI) mulai memberlakukan kebijakan Merchant Discount Rate (MDR) QRIS bagi merchant mikro menjadi 0,3 persen.

MDR QRIS usaha mikro yang sebelumnya 0 persen disesuaikan menjadi 0,3 persen, berlaku mulai awal Juli 2023.

Sebetulnya, MDR QRIS diberlakukan oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) khusus untuk unit usaha mikro. Jadi, 0,3 persen itu untuk mikro. Sedangkan usaha lainnya ada yang 0,7 persen.

0,3 itu tergolong paling efisien dan paling murah dibandingkan dengan golongan usaha lainnya.

0,3 persen dimaksud bukan pemotongan dan juga bukan pajak, itu adalah biaya yang dikenakan oleh Penyedia Jasa Pembayaran.

Contohnya, perbankan itu memberikan katakanlah QRIS kepada usaha mikro penjual kain seumpamanya, jika harganya Rp100 ribu maka pihak bank akan mengenakan biaya hanya senilai Rp300 rupiah dipotong dari penyedia jasa atau penjual kainnya itu kepada bank. Jadi, itu dijadikan sebagai fee atau MDR tersebut sebesar 0,3 persen,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Lhokseumawe, Gunawan melalui Deputi KPw BI, Rio Wardhanu, Jumat (7/7/2023).

Deputi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Lhokseumawe, Rio Wardhanu. durasi/Rahmat

Rio juga mengatakan, untuk perlindungan konsumen, maka 0,3 persen itu dibebankan kepada penjual. Jadi, tidak boleh ada penjual tersebut dibebankan cash (uang tunai) kepada pembeli atau konsumen.

Pertanyaan lanjutannya untuk apa sih BI itu berlakukan MDR atau tarif yang dikenakan kepada merchant oleh bank. Sebetulnya itu supaya kita ada sustainability keberlanjutan karena sebetulnya kalau kerangka besarnya Bank Indonesia itu yang namanya QRIS itu memang ada biaya, ketika pandemi Covid-19 pada 2020 kita nolkan itu supaya kita bisa mengembangkan usaha mikro kecil.

“Sejak awal kerangka bisnis dari sistem pembayaran menggunakan QRIS itu penyedia jasa. Ada 4 komponen utama Bank Indonesia sebagai pelaku yang mengatur industri, Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) adalah bank.

0,3 persen itu bukan untuk Bank Indonesia, tapi buat bank supaya nanti investasi buat meningkatkan kualitas layanan, kemudian memberikan promo-promo.

Kalau ini promonya bagus, kemudian industrinya berjalan, tentunya volume transaksi menggunakan QRIS itu akan lebih banyak lagi diminati oleh masyarakat,” kata Rio.

Perlu diluruskan adalah 0,3% itu berapa sih nilainya 0,3%, katakanlah kita belanja Rp. 100 ribu 300 dipotong ke pedagang.

Rio menambahkan minat penggunaan QRIS di tingkat Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sejauh ini bagus pada masa ekspansi. Masyarakat tidak perlu cari uang tunai, cukup memanfaatkan handphone dengan menggunakan aplikasi QRIS yang menghubungkan dengan rekening pengguna, itu bisa dilakukan pembayaran.

“Kita melihat di Provinsi Aceh, sejauh ini tingkat pertumbuhannya paling tinggi dibandingkan provinsi lain. Namun, volume transaksinya memang masih rendah, karena kita baru tersedia di keudai kopi atau baru untuk yang nilainya belum terlalu besar,” ujar Rio Wardhanu.

Sejauh ini pihaknya melihat data lebih banyak segmen penggunaan QRIS adalah anak muda. Jadi, penetrasinya baru kalangan milenial dan belum sampai ke orang tua.

Masih ada anggapan kalau digitalisasi itu hanya untuk anak-anak muda. Padahal, semua masyarakat juga didorong ke ranah digital supaya memudahkan dalam melakukan transaksi pembayaran, tidak perlu lagi harus membawa uang tunai untuk keperluan bertransaksi, kata Deputi KPw BI, Rio Wardhanu. []

  • Bagikan